PENYAKIT DIARE
Diare (BM = diarea; Inggris = diarrhea)
adalah sebuah penyakit di mana tinja atau feses berubah menjadi lembek atau
cair yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam 24 jam.
a.
Etiologi
Diare
terjadi akibat adanya rangsangan terhadap saraf otonom di dinding usus sehingga
menimbulkan reflex mempercepat peristaltic usus, rangsangan ini dapat
ditimbulkan oleh:
1)
Infeksi oleh bakteri pathogen, misalnya bakteri E.Colie
2)
Infeksi oleh kuman thypus (kadang-kadang) dan kolera
3)
Infeksi oleh virus, misalnya influenza perut dan ‘travellers diarre’
4)
Akibat dari penyakit cacing (cacing gelang, cacing pita)
5)
Keracunan makanan dan minuman
6)
Gangguan gizi
7)
Pengaruh enzyme tertentu
8)
Pengaruh saraf (terkejut, takut, dan lain sebagainya)
b.
Cara Penularan
1) Penularan
secara langsung:
Penyakit diare dapat ditularkan dari orang satu ke orang lain secara langsung
melalui fecal–oral dengan media penularan utama adalah makanan atau minuman
yang terkontaminasi agen penyebab diare (Suharyono, 1991). Penderita diare
berat akan mengeluarkan kuman melalui tinja, jika pembuangan tinja tidak
dilakukan pada jamban tertutup, maka akan berpotensi sebagai sumber penularan.
2) Penularan
secara tidak langsung: Penyakit diare dapat juga ditularkan secara tidak langsung
melalui air. Air yang tercemar kuman, bila digunakan orang untuk keperluan
sehari-hari tanpa direbus atau dimasak terlebih dahulu, maka kuman akan masuk
ke tubuh orang yang memakainya, sehingga orang tersebut dapat terkena
diare.
c.
Diagnosis
Diagnosa diare ditegakkan
berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Amati konsistensi tinja dan
frekuensi buang air besar bayi atau balita. Jika tinja encer dengan frekuensi
buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari, maka bayi atau balita tersebut
menderita diare. Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mengetahui kadar
elektrolit dan jumlah sel darah putih. Namun, untuk mengetahui organisme
penyebab diare, perlu dilakukan pembiakan terhadap contoh tinja.
d.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
1) Primer
Pencegahan primer penyakit diare
dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor pejamu. Untuk
faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme penyebab diare
dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan
lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan
daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan
pemberian imunisasi.
a) Penyediaan air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan
pokok hidup manusia, bahkan hampir 70% tubuh manusia mengandung air. Air
dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain,
maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk
hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia,
juga dapat berperan besar dalam penularan beberapa penyakit menular termasuk
diare (Sanropie, 1984). Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah
air permukaan yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung
kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa
yaitu air yang berasal dari atmosfir seperti hujan dan salju (Soemirat, 1996).
Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya
penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang
insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga
orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang
hospes sementara penyakit (Soemirat, 1996). Dengan memahami daur/siklus air di
alam semesta ini, maka sumber air dapat diklasifikasikan menjadi: a) air
angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah seperti air sumur, mata air
dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan telaga. Untuk pemenuhan
kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat dibangun
bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa perpipaan, sumur
gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air hujan, dan
sumur artesis (Sanropie, 1984). Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih
harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber
air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh
meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan
pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih, dan untuk
minum air harus di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak mendapatkan air besih (Andrianto, 1995).
b) Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian
yang penting dari kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat
berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu yang penularannya
melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 1983). Keluarga yang tidak
memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus membuang air besar di jamban.
Jamban harus dijaga dengan mencucinya
secara teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus membuang air
besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling kurang sepuluh
meter dari sumber air bersih (Andrianto, 1995). Untuk mencegah kontaminasi
tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola
dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat
kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan,
tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan
dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996). Tempat pembuangan tinja yang
tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah
pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai
kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003).
Menurut hasil penelitian Irianto (1996), bahwa anak balita berasal dari
keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan tangki septik,
prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang
menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan 8,9 % di
desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang mempergunakan sungai
sebagi tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota dan 12,7% di desa.
c) Status gizi
Status gizi didefinisikan sebagai
keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh
(Parajanto, 1996). Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi. Menurut Gibson
(1990) metode penilaian tersebut adalah: konsumsi makanan, pemeriksaan
laboratorium, pengukuran antropometri dan pemeriksaan klinis. Metode-metode ini
dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang
lebih efektif. Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata makin banyak episode
diare yang dialami. Mortalitas bayi dinegara yang jarang terdapat malnutrisi
protein energi (KEP) umumnya kecil (Canada, 28,4 permil). Pada anak dengan
malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi
terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan nonspesifik
terhadap kelompok organisme berkurang (Suharyono, 1986).
d) Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik
untuk bayi komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang
untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk
menjaga pertumbuhan sampai umur 4 -6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan
nyaman ibu jangan memberikan cairan tambahan seperti air, air gula atau susu
formula terutama pada awal kehidupan anak. Memberikan ASI segera setelah bayi
lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI mempunyai khasiat preventif
secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya.
ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare, pemberian ASI kepada bayi
yang baru lahir secara penuh mempunyai
daya lindung empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian
ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam
bulan pertama kehidupannya, risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar
dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes, 2000). Bayi yang
memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih rendah. Bayi
dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan ASI, dan keduanya
mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang sepenuhnya
mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan pertama kehidupan
(Suryono, 1988).
e) Kebiasaan mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit
yang penularannya berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian
besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman
tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang
mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum. Pada penularan
seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak
bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia.
Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan
penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh
tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh
melalui mulut. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat
penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah
buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan
anak dan sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang
berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan
makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003).
Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh
Bozkurt et al (2003) di Turki, orang tua
yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak
mempunyai risiko lebih besar terkena diare. Heller (1998) juga mendapatkan adanya hubungan antara
kebiasaan cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada anak di Betim-Brazil. Anak
kecil juga merupakan sumber penularan penting diare. Tinja anak, terutama yang
sedang menderita diare merupakan sumber penularan diare bagi penularan diare
bagi orang lain. Tidak hanya anak yang sakit, anak sehatpun tinjanya juga dapat
menjadi carrier asimptomatik yang sering kurang mendapat perhatian. Oleh karena
itu cara membuang tinja anak penting sebagai upaya mencegah terjadinya diare
(Sunoto dkk, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aulia dkk., (1994) di
Sumatera Selatan, kebiasaan ibu membuang tinja anak di tempat terbuka merupakan
faktor risiko yang besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan kebiasaan
ibu membuang tinja anak di jamban.
f)
Imunisasi
Diare sering timbul menyertai
penyakit campak, sehingga pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya
diare. Anak harus diimunisasi terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah
usia sembilan bulan (Andrianto, 1995)
2) Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini
ditujukan kepada si anak yang telah menderita diare atau yang terancam akan
menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan
tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip
pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi)
dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti
salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus
disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama
kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit,
obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membantu
menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan
mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan
menentukan obat yang disesuaikan dengan
penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki
efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter (Fahrial Syam,
2006).
3) Tersier
Pencegahan tingkat ketiga adalah
penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat
dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian fungsi
fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha
rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare.
Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan
menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental
penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan
secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan
kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial
dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan.
Upaya penanggulangan penyakit diare
antara lain yaitu:
-
Bila diare
berlangsung lama misalnya 1-2 hari dan bila kencing berkurang jumlah dan
frekuensinya maka bawa segera penderita ke RS karena ada kemungkinan ia terkena
dehidrasi
-
Mengobati
dehidrasi. Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak) penderita harus segera
dibawa ke petugas kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan
yang cepat dan tepat yaitu dengan oralit, jika terjadi dehidrasi berat
penderita harus diberikan cairan intra vena (infus) dengan linger laktat sebelum
dilanjutkan terapi oral.
-
Hindari
makanan padat.
-
Mengobati
masalah lain. Apabila ditemukan penderita diare yang disertai dengan penyakit
lain maka diberikan pengobatan sesuai dengan indikasi dengan tetap mengutamakan
dehidrasi.
e.
Gambaran Epidemiologi
1) Distribusi dan Frekuensi
a) Menurut Orang
Penyakit diare akut lebih sering
terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak
laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Hasil survei Program Pemberantasan
(P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare di Indonesia
pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan episode diare balita
adalah 1,0–1,5 kali per tahun. Survei Departemen Kesehatan tahun 2003 penyakit
diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi,
dan nomor lima pada semua umur. Kejadian diare pada golongan balita secara
proporsional lebih banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan
umur yakni sebesar 55%. Berdasarkan Survei Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM-PL) jumlah kasus diare pada tahun 2005 di
Sulawesi Selatan berdasarkan umur yang paling tinggi terjadi pada usia >5 tahun
yaitu sebesar 100.347 kasus sedangkan kematian yang paling banyak terjadi
berada pada usia <1 tahun yakni sebanyak 25 kematian. Perbedaan sifat
keadaan karakteristik personal/individu secara tidak langsung dapat memberikan
perbedaan pada sifat/keadaan keterpaparan faktor resiko penyakit diare maupun
derajat resiko penyakit diare serta reaksi individu terhadap setiap keadaan
keterpaparan, sangat berbeda dan dipengaruhi oleh berbagai sifat karakteristik
tertentu. Sifat karateristik itu antara lain: umur, jenis kelamin, kelas
sosial, jenis pekerjaan, penghasilan, golongan etnik, status perkawinan,
besarnya keluarga, struktur keluarga, dan paritas. Hasil penelitian Zulkifli
(2003) dengan desain cross sectional di
Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie
menunjukkan bahwa diare terbanyak
pada anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan.
b) Menurut Tempat
Penyakit diare tidak hanya terdapat
di negara-negara berkembang atau terbelakang saja, akan tetapi juga dijumpai di
negara industri bahkan di negara yang sudah maju sekalipun, hanya saja di
negara maju keadaan penyakit diare infeksinya jauh lebih kecil. Berdasarkan
Ditjen PPM & PL tahun 2005 bahwa KLB diare yang paling tinggi
yang paling besar terjadi pada daerah NTT dengan jumlah penderita 2.194
orang dengan CFR sebesar 1,28% diikuti oleh Kota Banten dengan jumlah
penderita 1.371 orang dan CFR 1,9%. Hal ini disebabkan tingkat sanitasi
masyarakat yang masih rendah, dimana pada daerah NTT tersebut terjadi
kekurangan air, sehingga aktivitas mereka terbatasi dengan minimnya persediaan
air. Pada tahun 2004, di Indonesia diare merupakan penyakit dengan frekuensi
KLB kelima setelah DBD, Campak, Tetanus Neonatorum dan keracunan makanan. Angka
kesakitan diare di Kalimantan Tengah dari tahun 2000-2004 fluktuatif dari 15,87
sampai 23,45. Pada tahun 2005 kasus diare 37,53% terjadi pada balita. Berbagai penelitian tetang diare
telah dilakukan di berbagai tempat. Hasil penelitian Kasman di Puskesmas Air Dingin Kecamatan Koto Tangah
Kota Padang Sumatera Barat (2003) dengan desain cross sectional didapatkan proporsi diare pada anak balita sebesar
69,1%.
c) Menurut Waktu
Masih seringnya terjadi wabah atau
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare menyebabkan pemberantasannya menjadi suatu hal
yang sangat penting. Di Indonesia, KLB diare masih terus terjadi hampir di
setiap musim sepanjang tahun. Angka kesakitan diare tahun 2000 berdasarkan
Survei Ditjen PPM-PL adalah 301 per 1.000 penduduk dan episode pada balita 1,3
kali per tahun. Pada tahun 2003 angka kesakitan diare meningkat menjadi 374 per
1.000 penduduk dan episode pada balita 1,08 kali per tahun. Cakupan penderita
diare yang dilayani dan dilaporkan selama lima tahun terakhir cenderung
menurun. Sementara itu jumlah penderita
diare yang dapat dihimpun dalam lima tahun terakhir ditemukan bahwa jumlah
penderita yang dilaporkan paling tinggi yakni pada tahun 2000 sebesar 4.771.340
penderita, sedangkan jumlah penderita yang dilaporkan paling rendah yakni pada
tahun 2004 sebesar 596.050 penderita.
2) Determinan
a) Host (Penjamu)
-
Umur
Survei Departemen Kesehatan tahun
2003 penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga
pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Hasil penelitian Zulkifli (2003)
dengan desain cross sectional di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie menunjukkan
bahwa diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur < 24
bulan.
-
Jenis
Kelamin
Penyakit diare akut lebih sering
terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak
laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penelitian Efrida Yanthi
(2001) di Kecamatan Padang Bolak Julu Kabupaten
Tapanuli Selatan dengan desain cross sectional menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna antara jenis kelamin anak balita dengan kejadian diare dengan nilai p
=0,997.
-
Status
Gizi
Penderita gizi buruk akan mengalami
penurunan produksi antibodi serta terjadinya atropi pada dinding usus yang
menyebabkan berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya
bibit penyakit ke dalam tubuh terutama penyakit diare. Hasil penelitian
Elmi Haryuni (2005) dengan desain case control di wilayah kerja
Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang menunjukkan
terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan
kejadian diare deng an nilai p=0,000, OR=3,5. Hasil penelitian
Zulkifli (2003) dengan desain cross sectional di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie menunjukkan
bahwa diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan.
-
Status
imunisasi
Diare sering timbul menyertai
campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Untuk
itu anak harus segera diberi imunisasi campak
ketika berumur 9 bulan sampai
anak berusia 1 tahun. Hasil penelitian Efrida Yanthi (tahun 2001) di Kecamatan
Padang Bolak Julu Kabupaten Tapanuli Selatan, yang melakukan analisis faktor
resiko terhadap kejadian diare yang menggunakan desain penelitian cross
sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan
kejadian diare dengan nilai p=0,000
(p<0,05). Ini berarti balita yang tidak imunisasi memiliki kemungkinan lebih
besar untuk menderita diare.
-
ASI
Eksklusif
Pemberian makanan berupa ASI sampai
bayi mencapai usia 4-6 bulan, akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap
berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan
tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus,
jamur dan parasit. Oleh karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI,
maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Hasil penelitian Dina Kamalia (2005) tentang
hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 1-6 bulan
di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni I yang menggunakan desain cross
sectional, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI
Eksklusif dengan kejadian diare dimana nilai p=0,003 (p<0,005)
b) Agent
Beberapa penyebab diare dapat dibagi
menjadi:
-
Peradangan
usus oleh:
·
Bakteri,
seperti: Escheria coli, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, C,
Shigella flexneri, Vibrio cholera, Vibrio eltor, Vibrio parahemolytius,
Clostridium perferingens, Campilobacter, Staphilococcus, Streptococcus,
Coccidiosis.
·
Parasit,
seperti: Protozoa (Entamoeba histolyca, Giardia lambia, Trichomonashominis
isospora), cacing (Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator
americanus, Trichuris tricura, Vermiccularis, Taenia saginata, Taenia solium),
jamur (Candida).
·
Virus,
seperti: Rotavirus, Farvovirus,
Adenovirus, Norwalk.
-
Makanan,
yaitu:
·
Sindroma
malaborsi: malabsorpsi karbohidrat, lemak dan protein.
·
Keracunan
makanan dan minuman yang disebabkan bakteri (Clostridium bottulinus,
Staphilococcus) atau bahan kimia.
·
Alergi,
misalnya tidak tahan pada makanan tertentu seperti susu kaleng atau susu sapi.
·
Kekurangan
energi protein (KEP).
-
Immunodefisiensi
terutama SIg A (secretory immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat ganda
nya bakteri/flora usus dan jamur terutama Candida. Psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang, dapat menimbulkan
diare terutama pada anak yang lebih besar.
c) Environment (Lingkungan)
Penyakit diare merupakan salah satu
penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air
bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan
perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman
diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu
melalui makanan dan minuman maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
-
Ketersediaan
Jamban
Penelitian Dewi Ratnawati dkk (tahun
2006) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dengan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa penggunaan
jamban yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko 2,550 kali
lebih besar balitanya untuk terkena diare akut dibandingkan dengan penggunaan
jamban yang memenuhi syarat dan secara statistik bermakna.
-
Penyediaan
Air Bersih
Penelitian Dewi Ratnawati dkk (tahun
2006) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dengan desain penelitian case
control, menunjukkan bahwa penggunaan sarana air bersih yang tidak memenuhi
syarat sanitasi akan meningkatkan risiko 1,310 kali lebih besar balitanya untuk
terkena diare akut dibandingkan dengan penggunaan sarana air bersih yang
memenuhi syarat namun secara statistik tidak bermakna.
-
Sanitasi
Lingkungan
Rendahnya mutu sanitasi lingkungan
merupakan keadaan yang potensial untuk menjadi sumber penularan penyakit diare.
Hasil penelitian Efrida Yanthi (tahun 2001) yang melakukan analisis hubungan
sanitasi lingkungan dengan kejadian diare yang menggunakan desain
penelitian cross sectional menunjukkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara sanitasi lingkungan dengan kejadian
diare dengan nilai p=0,000(p<0,05).