Sabtu, 27 September 2014

hubungan fertilitas dengan sosial ekonomi


A.    Pengertian Fertilitas
Istilah fertilitas adalah sama dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan adanya tanda-tanda kehidupan, misalnya berteriak, menangis, bernafas, jantung berdenyut, dan sebagainya. Dalam ilmu demografi, pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas dan mobilitas karena berkaitan dengan pasangan dan bayi yang akan dilahirkan. Secara makro pengukuran fertilitas menggunakan ukuran kumulatif, yaitu mengukur rata-rata jumlah anak laki-laki dan perempuan yang dilahirkan oleh perempuan pada waktu perempuan itu memasuki usia subur hingga melampaui batas reproduksinya (15-49) tahun atau disitilahkan dengan Tingkat Fertilitas Total (Total Fertility Rate/TFR). Secara operasional, TFR didefinisikan sebagai jumlah kelahiran hidup laki-laki dan perempuan tiap 1.000 perempuan (15-49) tahun yang hidup hingga akhir masa reproduksinya dengan catatan: (1) tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri masa reproduksinya; dan (2) tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu.
B.     Hubungan antara fertilitas dengan status ekonomi
1.      Tingkat pendidikan dan fertilitas
Tingkat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, melainkan juga meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutu yang tinggi dan baik, jumlah penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan masyarakat melainkan sebagai modal atau aset pembangunan. Disisi lain, tingkat pendidikan dapat berpengaruh dalam keterampilan teknis dan kecerdasan akademis untuk memenuhi kebutuhan pangan, penciptaan lapangan kerja baru yang produktif serta dapat mengembangkan dan mengelola sumberdaya manusia (human resources) ia sendiri.
(Ananta, dan Hatmadji dalam Profil Kependudukan Jambi, (1986;78))
Tingkat pendidikan (laki-laki dan wanita) merupakan prediktor yang kuat terhadap permanen income dan fertilitas. Dengan kata lain, tingkat pendidikan berkorelasi positif terhadap penghasilan (income) dan berpengaruh negatif terhadap fertilitas
(Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 27))     
Tingginya tingkat pendidikan laki-laki (kontrol pendidikan wanita dan permanen income rumahtangga), maka kekuatan penguasaan dalam rumahtangga lebih besar sehingga pada gilirannya mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur kelahiran. Sebaliknya, tingkat pendidikan wanita yang tinggi (kontrol pendidikan laki-laki dan permanen income rumahtangga), maka autonomi wanita mengontrol kelahiran lebih tinggi dibanding laki-laki.
(Balk (1994) dalam Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002;36)
Tingkat pendidikan yang relatif baik (tinggi),mereka lebih memilih memiliki jumlah anak lebih sedikit karena keuntungan lain dapat mempertinggi status ia sandang dan tingginya opportunity cost pengasuhan.(Bollen Kenneth)
2.      Struktur umur dan fertilitas
Umur merupakan karakteristik penduduk yang penting karena struktur umur dapat mempengaruhi perilaku demografi maupun social ekonomi rumahtangga. Perilaku demografi yang dimaksud yaitu meliputi jumlah, pertambahan, dan mobilitas penduduk (anggota rumahtangga), sedangkan yang termasuk ke dalam indikator sosial ekonomi rumahtangga meliputi tingkat pendidikan, angkatan kerja, pembentukan dan perkembangan keluarga. Usia muda yang dominan berpengaruh secara nyata terhadap perilaku demografi terutama tentang jumlah dan pertambahan penduduk melalui fertilitas.(Mantra,2004)
Penelitian Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 26) bahwa struktur umur penduduk (20-50) tahun berkorelasi positif dengan fertilitas (kontrol permanent income). Struktur umur seorang individu berkaitan erat dengan produktivitas kerja yang dicurahkan. Mengingat semakin tua umur secara linier diikuti dengan bertambahnya tingkat produktivitas (batas umur 55 tahun), hal ini dimungkinkan karena diakibatkan oleh faktor pengalaman kerja. Disisi lain, secara mikro umur mempengaruhi jam kerja di pasar kerja dan tingkat reproduksi (masa subur wanita). Padahal struktur umur (20-50) tahun menurut teori kependudukan berkorelasi negatif atau berbentuk huruf U terbalik terhadap fertilitas. Hal ini dimungkinkan karena penelitian yang dilakukan oleh Bollen Kenneth dkk, menggunakan model hanya ”permanent income sebagai latent variable” padahal menurut Freedman, variabel antara yang dapat mempengaruhi fertilitas ada 11 variabel, antara lain faktor sosial budaya dan status tempat tinggal.
3.      Status pekerjaan kepala keluarga dengan fertilitas

Batasan pekerjaan suami berbeda satu negara dengan negara lain apalagi antara negara berkembang dengan negara maju. Tetapi secara umum dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar, yaitu: low-prestige occupations (blue-collar jobs termasuk farmer); medium-prestige occupations (white-collar jobs); dan hig-prestige occupations (e.g. college-graduates, academic jobs). Pekerjaan suami berpengaruh langsung terhadap permanent income dan penghasilan rumahtangga. Hasil penelitian Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 27), menunjukkan bahwa pekerjaan kepala rumahtangga/suami merupakan variabel utama terhadap permanent income dan fertilitas. Artinya, status pekerjaan suami berkorelasi positif terhadap penghasilan (income). Melalui faktor permanent income atau disebut sebagai penghasilan rumahtangga berpengaruh negatif terhadap fertilitas (Peru dan Ghana). Hal ini sejalan dengan hasil temuan Becker (1995; 261), bahwa faktor pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas. Terdapatnya pengaruh negatif antara pendapatan atau penghasilan suami terhadap tingkat fertilitas dengan asumsi bahwa pendapatan suami yang tinggi umumnya terdapat pada kelompok suami dengan jenis pekerjaan medium dan higtprestige occupation, sedangkan kelompok pekerjaan tersebut sebagian besar berada di daerah perkotaan atau pada masyarakat industri maju.
Pada sisi lain, seperti dikemukakan oleh Mantra (2000;92) bahwa tingginya angka rasio beban tanggungan merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi karena sebagian dari pendapatan yang diperolah dari golongan yang produktif terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif untuk kebutuhan akan pangan, fasilitas pendidikan dan fasilitas lainnya.
4.      Status tempat tinggal dan fertilitas
Status tempat tinggal yang dikaji yaitu tempat tinggal yang kelompokkan desa kota atau daerah tertinggal dan maju. Menurut Siswanto AW (1995:23-24), perubahan perilaku reproduksi bersamaan dengan terjadinya perubahan pola hidup masyarakat tradisional menjadi masyarakat industri. Data empirik menunjukkan bahwa selama modernisasi, peningkatan praktek kontrasepsi merupakan penyebab terjadinya transisi fertilitas di masyarakat industri. Bukti ini diulangi lagi di negara-negara berkembang, ternyata hasilnya cukup menggembirakan dalam penurunan fertilitas. Disamping factor kontrasepsi, penurunan fertilitas dapat juga melalui praktek menyusui dan pantang berkala penyebab rendahnya tingkat fertilitas.
Becker (1995) melihat bahwa secara ekonomi, terdapat perbedaan orientasi tentang nilai anak antara masyarakat maju (kaya) dengan masyarakat tertinggal (miskin). Masyarakat miskin misalnya, nilai anak lebih bersifat barang produksi. Artinya, anak yang dilahirkan lebih ditekankan pada aspek jumlah atau banyaknya anak dimiliki (kuantitas). Menurut Becker, banyaknya anak dilahirkan oleh masyarakat miskin diharapkan dapat membantu orang tua pada usia pensiun atau tidak produktif lagi sehingga anak diharapkan dapat membantu mereka dalam ekonomi, keamanan, dan jaminan sosial (asuransi). Karena pada masyarakat miskin umumnya orang tua tidak memiliki jaminan hari tua. Sementara pada masyarakat maju (kaya), nilai anak lebih ke arah barang konsumsi yaitu dalam bentuk kualitas. Dengan arti kata, anak sebagai human capital sehingga anak yang dilahirkan relatif sedikit namun investasi atau biaya yang dikeluarkan lebih besar baik biaya langsung maupun opportunity cost terutama untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, gizi, keterampilan dan sebagainya sehingga anak diharapkan dapat bersaing di pasar kerja bukan difungsikan sebagai keamanan apalagi sebagai jaminan sosial bagi orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar