A. Pengertian Fertilitas
Istilah fertilitas adalah sama dengan kelahiran
hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan
dengan adanya tanda-tanda kehidupan, misalnya berteriak, menangis, bernafas,
jantung berdenyut, dan sebagainya. Dalam ilmu demografi, pengukuran fertilitas
lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas dan mobilitas karena
berkaitan dengan pasangan dan bayi yang akan dilahirkan. Secara makro
pengukuran fertilitas menggunakan ukuran kumulatif, yaitu mengukur rata-rata
jumlah anak laki-laki dan perempuan yang dilahirkan oleh perempuan pada waktu
perempuan itu memasuki usia subur hingga melampaui batas reproduksinya (15-49)
tahun atau disitilahkan dengan Tingkat Fertilitas Total (Total Fertility
Rate/TFR). Secara operasional, TFR didefinisikan sebagai jumlah kelahiran
hidup laki-laki dan perempuan tiap 1.000 perempuan (15-49) tahun yang hidup
hingga akhir masa reproduksinya dengan catatan: (1) tidak ada seorang perempuan
yang meninggal sebelum mengakhiri masa reproduksinya; dan (2) tingkat
fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu.
B.
Hubungan
antara fertilitas dengan status ekonomi
1. Tingkat
pendidikan dan fertilitas
Tingkat
pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur
tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat. Pendidikan tidak hanya
mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, melainkan juga
meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutu yang tinggi dan baik, jumlah
penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan masyarakat melainkan
sebagai modal atau aset pembangunan. Disisi lain, tingkat pendidikan dapat
berpengaruh dalam keterampilan teknis dan kecerdasan akademis untuk memenuhi
kebutuhan pangan, penciptaan lapangan kerja baru yang produktif serta dapat
mengembangkan dan mengelola sumberdaya manusia (human
resources) ia sendiri.
(Ananta, dan Hatmadji dalam
Profil Kependudukan Jambi, (1986;78))
Tingkat
pendidikan (laki-laki dan wanita) merupakan prediktor yang kuat terhadap
permanen income dan fertilitas. Dengan kata lain, tingkat pendidikan
berkorelasi positif terhadap penghasilan (income) dan berpengaruh
negatif terhadap fertilitas
(Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 27))
Tingginya
tingkat pendidikan laki-laki (kontrol pendidikan wanita dan permanen income
rumahtangga), maka kekuatan penguasaan dalam rumahtangga lebih besar sehingga
pada gilirannya mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur kelahiran.
Sebaliknya, tingkat pendidikan wanita yang tinggi (kontrol pendidikan laki-laki
dan permanen income rumahtangga), maka autonomi wanita mengontrol kelahiran
lebih tinggi dibanding laki-laki.
(Balk (1994) dalam Bollen
Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002;36)
Tingkat pendidikan yang
relatif baik (tinggi),mereka lebih memilih memiliki jumlah anak lebih sedikit
karena keuntungan lain dapat mempertinggi status ia sandang dan tingginya opportunity
cost pengasuhan.(Bollen Kenneth)
2.
Struktur
umur dan fertilitas
Umur merupakan karakteristik penduduk
yang penting karena struktur umur dapat mempengaruhi perilaku demografi maupun
social ekonomi rumahtangga. Perilaku demografi yang dimaksud yaitu meliputi
jumlah, pertambahan, dan mobilitas penduduk (anggota rumahtangga), sedangkan
yang termasuk ke dalam indikator sosial ekonomi rumahtangga meliputi tingkat
pendidikan, angkatan kerja, pembentukan dan perkembangan keluarga. Usia muda
yang dominan berpengaruh secara nyata terhadap perilaku demografi terutama
tentang jumlah dan pertambahan penduduk melalui fertilitas.(Mantra,2004)
Penelitian
Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 26) bahwa struktur umur
penduduk (20-50) tahun berkorelasi positif dengan fertilitas (kontrol permanent
income). Struktur umur seorang individu berkaitan erat dengan produktivitas
kerja yang dicurahkan. Mengingat semakin tua umur secara linier diikuti dengan
bertambahnya tingkat produktivitas (batas umur 55 tahun), hal ini dimungkinkan
karena diakibatkan oleh faktor pengalaman kerja. Disisi lain, secara mikro umur
mempengaruhi jam kerja di pasar kerja dan tingkat reproduksi (masa subur
wanita). Padahal struktur umur (20-50) tahun menurut teori kependudukan
berkorelasi negatif atau berbentuk huruf U terbalik terhadap fertilitas. Hal
ini dimungkinkan karena penelitian yang dilakukan oleh Bollen Kenneth dkk,
menggunakan model hanya ”permanent income sebagai latent variable”
padahal menurut Freedman, variabel antara yang dapat mempengaruhi fertilitas
ada 11 variabel, antara lain faktor sosial budaya dan status tempat tinggal.
3. Status
pekerjaan kepala keluarga dengan fertilitas
Batasan
pekerjaan suami berbeda satu negara dengan negara lain apalagi antara negara
berkembang dengan negara maju. Tetapi secara umum dapat dikelompokkan kedalam
tiga golongan besar, yaitu: low-prestige occupations (blue-collar jobs termasuk farmer); medium-prestige
occupations (white-collar jobs); dan hig-prestige occupations (e.g.
college-graduates, academic jobs). Pekerjaan suami berpengaruh langsung terhadap permanent
income dan
penghasilan rumahtangga. Hasil penelitian Bollen Kenneth AJ, dan Glanville
Stecklov G (2002; 27), menunjukkan bahwa pekerjaan kepala rumahtangga/suami
merupakan variabel utama terhadap permanent income dan fertilitas. Artinya, status
pekerjaan suami berkorelasi positif terhadap penghasilan (income). Melalui faktor permanent
income atau
disebut sebagai penghasilan rumahtangga berpengaruh negatif terhadap fertilitas
(Peru dan Ghana). Hal ini sejalan dengan hasil temuan Becker (1995; 261), bahwa
faktor pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas. Terdapatnya
pengaruh negatif antara pendapatan atau penghasilan suami terhadap tingkat
fertilitas dengan asumsi bahwa pendapatan suami yang tinggi umumnya terdapat
pada kelompok suami dengan jenis pekerjaan medium dan
higtprestige occupation,
sedangkan kelompok pekerjaan tersebut sebagian besar berada di daerah perkotaan
atau pada masyarakat industri maju.
Pada
sisi lain, seperti dikemukakan oleh Mantra (2000;92) bahwa tingginya angka
rasio beban tanggungan merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi karena
sebagian dari pendapatan yang diperolah dari golongan yang produktif terpaksa
harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif untuk
kebutuhan akan pangan, fasilitas pendidikan dan fasilitas lainnya.
4.
Status
tempat tinggal dan fertilitas
Status tempat tinggal yang dikaji yaitu
tempat tinggal yang kelompokkan desa kota atau daerah tertinggal dan maju.
Menurut Siswanto AW (1995:23-24), perubahan perilaku reproduksi bersamaan
dengan terjadinya perubahan pola hidup masyarakat tradisional menjadi
masyarakat industri. Data empirik menunjukkan bahwa selama modernisasi,
peningkatan praktek kontrasepsi merupakan penyebab terjadinya transisi fertilitas
di masyarakat industri. Bukti ini diulangi lagi di negara-negara berkembang, ternyata
hasilnya cukup menggembirakan dalam penurunan fertilitas. Disamping factor kontrasepsi,
penurunan fertilitas dapat juga melalui praktek menyusui dan pantang berkala
penyebab rendahnya tingkat fertilitas.
Becker
(1995) melihat bahwa secara ekonomi, terdapat perbedaan orientasi tentang nilai
anak antara masyarakat maju (kaya) dengan masyarakat tertinggal (miskin).
Masyarakat miskin misalnya, nilai anak lebih bersifat barang produksi. Artinya,
anak yang dilahirkan lebih ditekankan pada aspek jumlah atau banyaknya anak
dimiliki (kuantitas). Menurut Becker, banyaknya anak dilahirkan oleh masyarakat
miskin diharapkan dapat membantu orang tua pada usia pensiun atau tidak
produktif lagi sehingga anak diharapkan dapat membantu mereka dalam ekonomi,
keamanan, dan jaminan sosial (asuransi). Karena pada masyarakat miskin umumnya
orang tua tidak memiliki jaminan hari tua. Sementara pada masyarakat maju
(kaya), nilai anak lebih ke arah barang konsumsi yaitu dalam bentuk kualitas.
Dengan arti kata, anak sebagai human capital sehingga anak yang
dilahirkan relatif sedikit namun investasi atau biaya yang dikeluarkan lebih
besar baik biaya langsung maupun opportunity cost terutama untuk
peningkatan kesehatan, pendidikan, gizi, keterampilan dan sebagainya sehingga
anak diharapkan dapat bersaing di pasar kerja bukan difungsikan sebagai
keamanan apalagi sebagai jaminan sosial bagi orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar